Gaungkan Reyog 'Gemblak', Agar Tak Ada Tarian Erotisme

Seniman dari Jogjakarta, Mas Iwuk angkat bicara terkait jathil yang saat ini lebih mengutamakan goyang erotisme


Reyog Ponorogo merupakan budaya yang adi luhung. Dimana banyak nilai kesenian yang terkandung didalamnya. Namun seiring perkembangan jaman, beberapa pengamat kesenian menilai, jika kesenian reyog telah mengalami pergeseran pakem. Terutama pada jathil perempuan yang saat ini dinilai lebih mengutamakan sisi (maaf) sensualitas dan erotisme.

Hal tersebut diungkapkan salah satu pegiat kesenian, Mas Iwuk. Saat ditemui Suara Ponorogo usai menghadiri acara 'Sinten Purun Kulo Dongengi' di Sanggar Kartika Puri Joglo Paju. (11/9). Dirinya mengatakan, seperti yang kita tahu reyog berbasis dari cerita Kyai Ageng Kutu, dimana kalau dulu tiap pemain reyog semuanya laki-laki. Termasuk jathil -nya atau yang disebut 'gemblak'. Nah kalau sekarang kan sudah tak lagi ada. Sejak era 90an, jathil reyog pemainnya perempuan dan lebih mengutamakan tarian (maaf) erotisme dan sensualitas. Oke -lah sebagian seniman setuju dengan jathil perempuan. Namun, kalau untuk seniman seperti kita ya harus diakomodasi.

"Ini yang sedikit merusak moral generasi kita. Serta menghilangkan nilai kesenian reyog itu sendiri. Untuk itu kita bersama teman-teman (Sanggar Kartika Puri Joglo Paju), untuk bagaimana reyog dengan jathil laki-laki itu tetap ada. Seperti kemarin kita sudah melakukan upaya nyata dan eksplorasi, yakni Sudirman (pegiat kesenian Ponorogo) dan Nini Didi Towok berkolaborasi mementaskan pertunjukkan jathil lanang di Jogjakarta. Karena korelasi reyog versi Kyai Ageng Kutu itu, reyog ada warok dan gemblak. Jadi jangan -lah terlalu naif, jika gemblak itu ora enek," ujar Mas Iwuk, seniman yang saat ini tinggal di Jogjakarta.

 Sudirman yang begitu getol melestarikan kesenian dan kebudayaan daerah 'Kota Reyog'


Hal senada juga diungkapkan pelestari kesenian reyog, Sudirman.  Ia menjelaskan, seperti yang kita tahu sekarang banyak orang itu tahunya jathil itu perempuan. Padahal, jika dari sejarahnya jathil itu dibawakan oleh laki-laki. Ya kita berusaha menunjukkan bagaimana reyog itu tetap pada versi aslinya (jathil lanang). Terlebih untuk saat ini, jathil perempuan lebih mengutamakan goyang yang mengarah pada pornografi.

"Ya ini yang tak cocok bagi pemikiran kita. Melalui kesenian, kita juga ingin mengajarkan adab dan etika kepada anak-anak sejak dini. Selain itu, reyog merupakan kesenian dan kebudayaan yang harus kita lestarikan. Bagaimana kita dapat mengemas suatu budaya tanpa harus meninggalkan pakem-pakem itu," pungkas pemilik Sanggar Kartika Puri Joglo Paju ini. * (and)

1/Post a Comment/Comments

Posting Komentar

Dibaca :